• Ranu Kumbolo, Semeru. Oktober 2012

  • Merbabu via Selo. Juli 2013

  • Lawu via Cemoro Sewu. Maret 2012

  • Sumbing. Februari 2012

  • Mahameru, Oktober 2012

  • Merapi, Juni 2012

  • Slamet via Bambangan, September 2013

  • Lawu via Cemoro Kandang. 2006

02 December 2013

Kenapa sih naik gunung ?


Sebelum ngelanjutin cerita gunung yang lain pengen ngejawab pertanyaan ini dulu ya,,

Kenapa sih mesti naik gunung?

Pertanyaan ini dulunya sering banget dialamatkan ke anak-anak yang suka naik gunung. Ngapain sih susah - susah naik gunung? sudah capek, dingin, kehujanan, makan seadanya, resiko sakit, jatuh, dll lah yang nggak ngenakin. Enakan juga jalan kemana gitu bareng temen-temen, nongkrong lah, makan lah, atau tiduran dikamar juga enak.
Sumbing
Nah tapi kalau sekarang kayaknya sudah jarang yang nanya ginian ke anak gunung. Tau kenapa ? tuh 'hasil' dari naik gunung sudah banyak berserakan di socmed. Jadi image anak gunung yang tadinya dikata kurang kerjaan, menyusahkan, bikin capek sudah bergeser jadi 'anak gaul', keren, suka tantangan. Apalagi setelah rilis film tentang gunung kemarin  kayaknya animo ke gunung makin hari makin banyak saja. Kata pendaki-pendaki 'senior', film ini turut andil memicu ABG" sekarang bermigrasi ke gunung. (Filmnya kek apa sih, kok saya malah belum nonton :p) Lalu banyak istilah 'pendaki kagetan', 'pendaki baru' dll. Yah menurut saya sih nggak papa, toh mereka yang senior juga dulunya melewati proses menjadi 'pendaki baru'. Tapi ....... kalau semua nanti pada ngramein gunung, yang ngramein mall-mall nanti siapa? hhaa, Boleh, boleh ... saya juga baru dan amatir kok, kata kakak-kakak, silahkan saja naik gunung asal nggak nyampah di gunung, ikut menjaga alamnya, mendaki sesuai standar keamanan trus nggak ngajakin bapak-ibu kakek nenek adik kakaknya.. :p bakal repot soalnya. Dan paling penting mendakilah jika memang itu passion kita, bukan karena ikut-ikutan karena gebetan seneng naik gunung ;p atau karena melihat teman" terlihat keren dengan pose gunungnya. ada kalimat retoris dibeberpa forum pendaki begini,

Jika teknologi foto, video, bahkan tukang gambar nggak ada. Masihkah kamu ingin naik gunung ?

Merapi, 2012
Saya sih bukan pendaki expert, mendaki hanya kadang-kadang. Belum bisa dikatakan pencinta alam, baru sekedar penikmat alam. Tapi kalau ada orang bertanya kenapa naik gunung, jawabnya simple: karena gunungnya ada dan daki-able :D Coba klo hidup dipulau yg nggak ada gunungnya paling-paling mentok cuma naik turun tangga, hha.. Lagian kalau menurut analisis saya, cie.. saya termasuk seorang introvert melankolis, nggak begitu suka keramaian, maka cocoknya ke gunung, hha..

Alasan saya pertama kali ikut mendaki adalah karena ada temennya. Iya karena ada temennya. Kalau ada temen, ada yang bisa diajak ngobrol, ada yang bisa diminta gantian carrier kalau capek, ada yang bisa dimintain air kalau kita kehabisan. Dan yang paling penting ada yang bisa diminta untuk motoin :p Intinya klo ada temen itu untuk safety. Mendaki bersama untuk berjaga kalau terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Dan kebersamaan ketika naik gunung itu akan lebih terasa dan terkenang. Dulu selepas SMA hampir 3 tahunan nggak mendaki, karena nggak tau kalau ada yang hoby mendaki juga. Baru ketika tak sengaja cerita tentang gunung temen saya nyaut. Akhirnya atur waktulah untuk nanjak, 2 gunung sekaligus :D Walau sempet kepikiran akhir-akhir ini untuk naik gunung sendirian, tapi urung terlaksana karena makin dipikir kok rasanya tetep butuh temen. Oh ya tentang kebersamaan ketika naik gunung ada kalimat begini bunyinya

Jika kamu ingin mengetahui karakter pribadi seseorang, ajaklah dia mendaki gunung

Nah kalau saya sih bukan semata-mata pengen tahu karakter partner saya, tapi pengen lebih mengenali karakter diri saya sendiri.
 
Merbabu, Sep 2012
And then, siapa sih yang nggak jenuh dengan hiruk pikuk kota, lalu lalang kendaraan, polusi, berita-berita TV yang isinya cuma tentang korupsi, penatnya kegiatan sehari-hari yang sangat mainstream ? Sering saya jenuh, Makalah saya naik gunung. Semua tadi rasanya hilang kalau sudah digunung, ketemu warga sekitar yang ramah-ramah lagi berkebun, ngeliat rimbunnya pohon, sunsetnya, sunrisenya, langit malamnya, teduh tendanya, edelweissnya, padang sabananya, lautan awannya, sunyi malamnya, hhmm....
Bagi saya, selain #kamu, keindahan ciptaan tuhan yang lain adalah gunung. Karena kamu belum halal bagiku maka itulah saya naik gunung saja. Tapi kalau bisa sih suatu saat naik bareng kamu juga, :D

When you’re at the bottom at the foot of the wall, and you look up, you ask yourself : How can anyone climb that? Why would anyone even want to? But hours later when you’re at the top looking down, you’ve forgotten everything. Except the one person you promised you would come back to

Dengan mendaki gunung juga kita akan belajar. Belajar untuk menancapkan tujuan, lalu mempersiapkan diri dan berjuang untuk meraihnya. Mengukur waktu, mengukur kekuatan fisik kita serta manajemen logistik dan perbekalan. Dan jangan dikira dengan mendaki gunung kita tak bisa menguatkan hati. Dengan mendaki apalagi bersama teman kita akan berlatih untuk menguatkan empati, berbagi, dan menahan diri. Mendaki gunung adalah sebuah proses dimana solidaritas dan ambisi harus bisa berkompromi.
Ranu Kumbolo

Terakhir, kenapa naik gunung adalah saya pengen menjadi kecil, (orangnya emang sudah kecil sih). Kalau sedang dibawah melihat gunung yang menjulang segede itu dan membayangkan orang ada dipuncaknya.. hhm sungguh kecil kita ini. Apalagi melihat musibah ketika merapi meletus dan meluluhlantakkan sebagian Jogja beberapa waktu lalu. Maka sungguh kecilah kita ini, dan tak pantaslah kita sombong.

Beberapa berkata untuk kebebasan, kepuasan & pembuktian. Namun ada juga diantara mereka yang hanya sekedar pengen tahu. Pengen tahu seberapa kecil mereka, seberapa tidak berdayanya mereka diantara semesta.

Ini salah satu nasehat dari warga lereng Gunung Lawu, silahkan direnungkan 

Munggah gunung uga nggo pangucap syukurmu marang Gusti, kang hamemangun bumi, coba ngingeti kiwa lan tenganmu.. kowe pribadi ora ana sacuil saka lemah gunung iki, apa meneh karo Gusti kowe ora ana apa-apane.

"Naik gunung juga sebagai bentuk ungkapan syukurmu kepada Sang Pencipta, yang menjaga bumi, coba lihatlah kanan kirimu, kamu tidak ada secuilnya dari bongkahan tanah gunung ini, apalagi dibandiingkan dengan Penciptanya, kamu tidak ada apa-apanya."

Well setiap pendaki punya alasan masing-masing untuk naik gunung, apapun itu mendakilah karena senang dan mendakilah dengan aman serta tetap menjaga lingkungan. #SalamPendaki 
Merbabu via Selo
Posted by Muhammad Khoirudin
on 22:47
Read More »

01 December 2013

Gunung Lawu, 2006

Hargo Dumilah waktu itu 2006
Setelah Merapi menjadi cinta pertama saya pada gunung, rasa penasaran ternyata terus berlanjut. Sekitar masih tahun 2006 (waktu itu kelas 2 SMA, masih imut lah, :p) cinta berlanjut ke gunung Lawu, selain lokasi yang tak begitu jauh faktor keindahan dan ceritanya menarik rasa penasaran. Rumah saya diapit oleh gunung-gunung, disebelah barat ada Merapi - Merbabu dan sebelah timur ada Lawu yang hampir tiap hari terlihat. Pas pula waktu itu anak-anak PA mengadakan kegiatan pendakian ke Lawu.

Jalur pendakian Lawu yang saya tahu ada 3, pertama Cemoro Kandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, kedua Cemoro Sewu yang meskipun jaraknya nggak jauh dari Cemoro Kandang tapi sudah masuk wilayah Sarangan, Jawa Timur, lalu bisa juga lewat Cetho. Dari ketiga jalur itu cemoro sewu menurut saya yang paling nyaman, selain karena jalan setapak yang sudah rapi tersusun tangga hampir sampai puncak, juga lebih pendek dari Cemoro Kandang. Lain itu juga di Pos 3 (atau pos 2, lupa, hhe) kalau beruntung ada warung yang buka. Dan di pos 5 sebelum puncak jalur Cemoro sewu juga ada warung makna 'Mbok Yem' yang hampir selalu buka melayani pendaki dan para 'pencari hikmah'. Di Jalur Cemoro Sewu juga terdapat dua mata air untuk perbekalan, sendang penguripan di antara pos 1 dan pos 2 serta sendang drajat di pos 5

Jika lewat jalur cemoro kandang waktu tempuh agak lebih lama dibanding lewat cemoro sewu karena banyak track melingkari bukit yang landai namun tetap ketemu di puncak Hargo Dumilah. Jalur candhi Cetho sebenarnya bukan jalur resmi, dan medannya menurut cerita agak berat, serta masih banyak dijumpai hewan liar disana.
Peta jalur pendakian gunung lawu
Tahun 2006 kami serombongan kurang lebih berduapuluh start berangkat lewat jalur Cemoro Sewu, dan seperti pendakian pertama saya saat itu tetap tanpa tenda dan hanya perlengkapan seadanya, tanpa sleeping bag, carrier mentok cuma bawa matras. Yang masih saya ingat waktu itu berangkat siang hari dan ngecamp bermalam di pos 5 sebelah warung makan 'mbok Yem' dan sendang drajat yang masih banyak airnya. Setelah summit attack pagi harinya, dan packing kami bersiap turun lewat jalur cemoro kandang. Setelah capek yang sangat sampai basecamp cemoro kandang, surprise yang kebangetan bagi saya waktu itu adalah bahwa truck penjemput rombongan kami tidak menunggu di basecamp cemoro kandang tapi di Grojogan Sewu ! 10 km dari basecamp dan kami harus jalan kaki kesana ! Ketua rombongan bialng ini bagian dari pembentukan fisik anak PA. Ok sih, lah tapi kan saya bukan anak PA, :(.
Perjalanan Cemoro Kandang - Grojogan Sewu
Beberapa yang nggak kuat dijalan boleh bonceng truck sayur untuk turun tapi yang masih kuat mesti jalan kebawah. Capek memang, tapi terbayar dengan keindahan panorama gunung, udara sejuk dan keramahan warga yang sedang bertani sayur. Bagi yang pernah melintas dijalan tawangmangu - cemoro kandang pasti pengen berlama-lama disana.

Akhirnya menjelang maghrib waktu itu kami sampai di grojogan sewu, bagi yang kakinya masih kuat nanjak boleh turun ke air terjun, kalau saya sudah tak kuat lagi cukuplah bermain-main sama monyet-monyet di atas.  Oh ya kegilaan teman-teman saya yang lainnya selain harus turun jalan kaki sampai Grojogan Sewu adalah mereka membawa sepeda gunung samapi puncak Hargo Dumilah !!

Sepeda gunung di puncak gunung
Posted by Muhammad Khoirudin
on 22:45
Read More »

27 November 2013

[CATOPER] Pendakian Merapi - Juni 2012

Alhamdulillah kemarin 12-13 Juni kesampaian 'menengok' lagi Merapi (2965 mdpl) pasca erupsi terakhir tahun 2012. Nanjak bersama-sama, bermalam di bebatuan, menggigil tak beraturan, sendal jepit, dan saya amat sangat kecil
Berikut sedikit gambaran betapa luar biasa mahakarya-Nya
 
Photobucket
Kami berdelapan, berangkat dari Jogja bersepeda motor menuju basecap New Selo

Photobucket 
Alat deteksi gempa yang dipasang di bawah kubah kawah merapi (pasar bubrah) dan sekaligus pembangkit tenaga sollar cell

PhotobucketBukaan kawah yang terlihat jelas dari arah Klaten dan Jogja. Terlihat juga jalur aliran lava yang sempat meluluhlantakkan sebagian wilayah Jogja

PhotobucketMerbabu dari Pasar Bubrah, yang tak kalah gagah.

PhotobucketTebing curam dan runcing yang menjadi didnding kawah

PhotobucketKawah merapi, pintu gerbang jutaan meter kubik lahar. Yang sekarang tertutup batuan dengan asap belerang disebagiannya

Photobucket 
Inilah Puncak New Garuda yang terbentuk setelah erupsi terakhir. Bentuknya hampir mirip dengan puncak garuda sebelumnya. Namun sekarang lebih sulit untuk dijangkau

PhotobucketPuncak Sumbing, Sindoro, terlihat dari Puncak Merapi

PhotobucketPasar Bubrah (Camp kami, tendanya tak terlihat dari sini) dan wilayah Selo terlihat dari puncak Merapi

PhotobucketKawah Merapi, dengan lubang ditengahnya (yang tampak kecil dari sini)

PhotobucketDinding kawah yang runcing melingkar, nampak seperti negara api di film Avatar

PhotobucketJalur Lava / Wedhus Gembel dilihat dari puncak

PhotobucketPuncak Lereng kawah, tempat pemberhentian umumnya pendaki di puncak, tak banyak space untuk istirahat, kanan jurang kawah, kiri lereng terjal berbatu

PhotobucketMenuju puncak, mendaki pasir dan batu,

PhotobucketSunrise dari Pasar Bubrah, Subhanallah

PhotobucketMerbabu dikerumuni senja

PhotobucketSenja di Merapi,

Photobucket
Posted by Muhammad Khoirudin
on 18:57
Read More »

22 November 2013

Cinta Pertama

Sunrise di Pasar Bubrah, Juni 2012
Gunung, gunung, gunung. Tak tahu mengapa saya seperti kecanduan. Awalnya kapok memang, tapi beberapa waktu berlalu kerinduan untuk kembali makin sangat, sesangat rinduku padamu #hha.

Awal saya tertarik naik gunung adalah ketika saya duduk di kelas 2 SMA (tahun 2006). Waktu itu saya walaupun bukan anak PA di ajak teman-teman Pecinta Alam untuk naik ke Merapi. Pertamanya ragu karena Bapak Ibu saat itu tidak mengizinkan. Tapi setelah saya jelaskan ini adalah tugas pendampingan saya sebagai yang ‘dituakan’ dan juga sekeluarga saat itu ada acara yang kuotanya terbatas akhirnya saya di ijinkan. Yup, dengan persiapan ala kadarnya dan sama sekali belum pengalaman akhirnya berangkat juga bersama (seingat saya) 20an teman via pos pendakian Selo yang dari SMA saya kurang lebih perjalanan 1 jam.
Jalur pendakian merapi via Selo

Tak banyak yang saya ingat saat ini selain karena sudah lama, saat itu juga nyaris tak ada dokumentasi. Kami start dari basecamp siang hari waktu dhuhur dan ketemu beberapa bule yang sudah turun di gardu pandang New Selo. Dan sampai pos pasar bubrah untuk ngeCamp kira-kira waktu isya’. Sebelum sampai pos pasar bubrah, disetelahnya Watu Gajah saat itu waktu maghrib kami diterjang badai. Angin kencang udara dingin, pandangan sudah mulai gelap, dan saat itu kami sedang menanjak di lereng yang sebelah kanan jurang curam. Seingat saya itulah pertama kalinya saya merasakan dingin yang luar biasa. Ketua rombongan saat itu langsung inisiatif menghentikan perjalanan. Peserta cewek di minta berlindung di celah kecil tebing. Sedang yang laki-laki hanya bisa berhenti menggigil berlindung dibalik tas (bukan carrier) masing-masing. Setengah jam badai berlangsung dan saat itu pertama kali saya teringat dengan kematian. Sungguh.

Badai berlalu dan kami melanjutkan sampai di pos Pasar Bubrah angin tak kalah kencang. Tapi mau tidak mau kami harus ngecamp disana. Tanpa tenda ! hanya dengan jaket seadanya. Bagi yang sudah pernah kesana pasti tahu bagaimana keadaan Pasar Bubrah saat malam. Kami tidur menyelinap di balik bebatuan untuk berlindung dari angin. Bukan tidur sebenernya, karena sampai pagi saya cuma bisa menggigil. Tapi Alhamdulillah, sampai matahari terbit saya terutama, masih sehat dan bisa melanjutkan summit pagi harinya. Track Pasar Bubrah – Puncak adalah batuan pasir dari perut gunung tanpa vegetasi dan kalau matahari sudah sedikit tinggi udara panas menyengat. Walaupun terlihat pendek tetep saja butuh waktu 2 Jam-an untuk bisa sampai puncak.

Dan itulah puncak gunung pertama saya. Puncak Garuda, Merapi.

* dan lagi begitu turun dari merapi teman-teman saya lebih gila lagi. Mereka melanjutkan perjalanan ke puncak gunung sebelah, Merbabu. Saya nyerah, berdua mengibarkan bendera putih, pulang lebih dulu :D

Posted by Muhammad Khoirudin
on 20:45
Read More »